Pages

Selasa, 30 Agustus 2016

MENULIS SECARA AUTODIDAK

MENULIS SECARA AUTODIDAK

Bisa menemukan sesuatu dalam diri kita.

16 May 2010, Kajang, Malaysia. Sebenarnya ini menjadi catatan lamaku. Tapi baru kutulis di blog tahun ini (2016). Aku ingin pengalamanku ini aku bagikan kepada siapa pun yang ingin memulai menulis dan ingin jadi penulis. Well, bagi siapa saja yang membaca blogku ini, kamu dan aku sebenarny sama. Sama-sama belajar. Tapi (mentang-mentang) aku udah nerbitkan cerpen dan novel (masih diproses di gramedia) maka setidaknya aku punya pengalaman tersendiri bagaimana rasanya berkutat dengan pen.
16 May 2010, waktu itu usiaku sekitar 20-an tahun. Dan di tahun tersebut aku tahu semua orang pada menunggu piala dunia yang akan terselenggarakan tidak lama lagi. Dan di tahun tersebut aku baru menginjakkan kakiku di tanah tetangga. Tentunya masih dalam keadaan galau karena aku meninggalkan tanah kelahiranku, Indonesia, Jawa Timur, Jember.

  • Menemukan Cermin

Singkat cerita, ini adalah buku kenang-kenangan dari temanku;

Teman dekatku ini memberiku buku ini, berpesan agar buku tersebut diisi sebanyak mungkin, selama aku merantau ke Malaysia. 'Diisi apa ya?' pikirku waktu itu.
Dari buku ini aku berjuang untuk memenuhi wejangan dari temanku. Untuk mengisinya. Sebagian aku isi dengan keresahan jiwaku. Tentang temanku, tentang kebusukan temanku, tentang kecurangan temanku. Aku tulis di situ. Walhasil dari tulisan tentang temanku itu, aku baca lagi. Ternyata aku jenis manusia yang lebih pintar menilai kesalahan orang. Isinya aku baca lagi kebanyakan kejelekan temanku itu. Tapi aku sadar, padahal temanku ini adalah salah satu teman yang nyaman buat curhat, buat teman. Meskipun ada sifat yang tak kusukai mengenai temanku ini. Yap, namanya juga manusia. Manusia tiada yang perfect. Dan tidak semua manusia harus sama sepadan dengan sifat yang kita miliki. Kita A, harusnya di A juga. Tapi begitulah, jika warna sifat sama,  indahkah pelangi dengan satu warna? Dari situ aku sadar. Ternyata menulis bisa melihat cerminan hatiku. Dan aku juga tahu bahwa menulis tanpa beban itu kejujuran hati (menemukan cermin dari diriku sendiri). Jadi, dengan menulis sebenarnya bisa menata hati dan emosi. Lebih bisa berempati dan tak lagi mementingkan ego.
  • Memiliki Kekuatan Alam Bawah Sadar
Aku terus saja menulis, hingga pada tanggal 30 May 2010 aku putuskan untuk menulis sebuah cerita fiksi. Terinspirasi oleh Harry Potter karya JK Rowling. Jika Rowling dapat inspirasi secara instan ketika ia mengalami kesialan ketika kereta api yang ia tumpangi tiba-tiba mengalami kendala. Hingga kereta api tersebut berhenti untuk beberapa lama. Kesialan yang menimpa Rowling menjadi keberkahan, ia dapat ilham dari mana entah, tiba-tiba saja terpikir Hary Potter. Jika Rowling kesialannya seperti itu maka kesialanku  ada di kamar baruku ini. Aku bersarang di kamar yang banyak perkakas tukang. Maklum abang Iparku seorang tukang listrik/instalasi listrik, tapi bisa dibilang tukang apa saja. Jadi kamar ini kuanggap kereta api versi lain. Sebelum aku memulai menulis, aku terinspirasi dari buku bertema Free Writing. Intinya dalam buku itu, menulislah apa yang terlintas dipikiranmu, tangkap apa saja capung, lalat, kupu-kupu yang berkeliaran di otakmu.
Jadi, aku menulis berkiblat dari buku tersebut. Sepertinya gampang, pas mau praktekkan capung, lalat, kupu-kupu malah absen di otakku. Payah nih! tapi aku tak putus semangat. Dari kepayahan tersebut, maka jadilah materi kepayahan tersebut mengisi lembaran pertama tulisanku. Ya, seperti ini contohnya tulisannya: "em...aduh, mulai dari mana ya? ah, sekarang aku ada di Malaysia, hem.. nulis apa ya? eh ternyata udah jadi tulisan. hehe. Em, kayaknya aku perlu nulis fiksi nih, karena dari fiksi otakku bisa bebas. Itung-itung aku bisa jadi tuhan di dalam tulisan itu, bukan tuhan yang menciptakan alam semesta, tapi aku bisa jadi tuhan yang bisa menentukan takdir di dalam goresan penku ini. kakakaka...
Nah, seperti itulah awalan tulisanku. Tanpa terikat oleh kebakuan. Lupakan dulu EYD. Dari tulisan mengalir itu, tiba-tiba saja aku dapat ilham seorang tokoh kurus, kerempeng, cungkring, bajunya kedodoran, lututnya lancip. Nah, aku mulai saja dari situ, tanpa ada bacot lagi aku memerkosa lembaran itu dengan coretan yang nista. Karena aku merasa banyak capung, lalat, kupu-kupu yang berkeliaran. Maka kuputuskan untuk menulis tulisan font yang lebih kecil, seperti inilah penampakannya:

jadi, satu kolom ada dua garis tulisan. Kecil banget. Kalau dibaca sama usia lanjut, niscaya enggak terbaca. Karena sudah teruji. :P.
Sekarang kalau aku baca ulang, aku tak percaya! apakah itu aku yang menulis? tulisan kecil itu kutulis hingga halaman yang tersisa tinggal beberapa lembar saja. Ini kekuatan alam bawah sadar. Tulisanku kini jika aku lihat seperti jalan yang menanjak hingga bahaya untuk dinaiki. Tapi begitulah, seperti halnya dalam tulis menulis, sepertinya mustahil kita bisa menyelesaikan sebuah tulisan hingga membentuk sebuah karangan cerita yang menakjubkan kalau kita tidak memulai menarikan jemari kita di atas kertas. Percayalah!

  • Pemikiran yang Berbeda
Kenapa akhirnya aku memilih kembali menulis secara autodidak? 
Selama merantau di Malaysia, aku kurang puas jika berusaha menulis sendirian. Masih banyak penulis atau hal-hal yang harusnya aku ketahui sebagai upaya menambah referensi yang kuat di sebuah karanganku. Aku sadar hal itu.
Aku harus mencari seorang penulis! Maka aku membuka facebook. Ku searching semua yang berbau penulis. Pasti keywordnya 'penulis' atau kalau tidak komunitasnya, waktu itu yang ku searching komunitas Forum Lingkar Pena (FLP). Nah, singkat cerita. Aku berhasil kontak anggotanya. Dan aku pernah ikut seminar waktu itu dihadiri oleh Pipiet Senja dan Alwi Alatas, dan penulis berbagai kalangan mahasiswa. Di gedung KBRI Malaysia komunitas itu bergabung, dan waktu itu setelah pengenalan dari penulis senior lalu diadakan sesi  tanya jawab. Aku duduk paling belakang. Minder. Lagian apa yang mau ditanyakan, kalau sudah diajukan sama peserta seminar di situ. 
Aku juga kenal dengan salah satu anggota FLP (maaf enggak kusebutkan namanya). Aku menguraikan tentang apa yang kutulis kepadanya. Aku bilang ini fiksi. Meskipun ia pakai kacamata, ia pada akhirnya mendekatkan matanya ke deretan tulisan yang kubaca. "kayak semut baru netas!' katanya. Ia salut atas kemauan yang kuat itu. 
Namun dari pertemuan itu, terjadi perbedaan kaidah. Ia berkata kalau ingin menjadi penulis, tulislah hal yang mudah dan terjadi di dunia ini, seperti aku yang mengantarkan diriku ke Malaysia hingga jumpa dengan anggota FLP sepertinya. Dan dia mengkritik tulisan diluar kaidah EYD. Dari situ aku berpikir, 'kok beda?' malah jadi pesimis begini. Namun aku tak menyerah. Berbagai macam buku kepenulisan aku beli, hingga ada 9 buku (semua bertema sama how to writing). Setiap buku tersebut dibelakangnya sebagian tercantum e-mail penulis dari buku itu. Aku kontak semuanya. Meminta pendapat, saran dan masukan. Ada yang dijawab tapi kebanyakan diacuhkan. Tak terjawab hingga tahun ini (sepertinya sampai kiamat).
Dari 2010 hingga 2014, akhirnya aku pulang setelah Ibuku jatuh sakit. Sementara almarhum Ayah sakit-sakitan. Aku masih bingung mencari jati diri bahwa sebenarnya aku berada di penulis yang mana? Penulis End, berakhir cukup sekian. 
Namun dari semua jawaban yang terjawab. Ada rasa optimistis muncul dalam jiwa, berupa semangat.
Dialah Ipnu Rinto Nugroho, orang kelahiran Bantul. Penulis dari 3 Pocong Idiot. Aku kenal dengannya berawal dari sebuah buku how to. Di akhir halaman dengan baik hati penulis ini menerakan e-mail. Bersedia untuk menjawab segala hal yang berbau kepenulisan. Aku tidak seberapa senang karena hal itu, sebelumnya di buku how to penulis yang lain juga seperti hal itu.
Diluar dugaanku. Penulis ini menjawab cuma butuh  beberapa jam saja. Tak sampai berhari-hari, tak sampai berbulan-bulan, tak sampai hari kiamat. Bahkan anehnya dia membagi PIN BBM-nya, untuk di invite. Aku masih enggak percaya.
Dari situlah aku bermula semangatku membara. Awalnya beliau meminta kata-kata mutiara dan fotoku bersama Ibu untuk sebuah testimoni di buku Good Mom (buku kekeluargaan). Maka kukirim via BBM. Aku bahagia bukan main, ketika terbit foto yang memuat foto diriku dan ibuku dimuat di salah satu halaman beserta kata-kata mutiaraku mengenai Ibu. Meskipun 'cuma' itu, tapi bagi seorang yang tak berkecimpung dalam dunia tulis menulis dan tak punya satu karya pun akan sangat senang sekali. Dari situ, Beliau meminta aku ikut andil dalam membuat cerpen bertema jomblo, maka kugarap. Dan bahagia bukan main ketika cerpenku terbit dalam bentuk cerpen antologi. Lalu ada tawaran juga dari beliau buat novel dengan tema luar negeri. Nah, kebetulan aku kan pernah merantau ke Malaysia. Dia memberiku waktu satu bulan. Namun bisa rampung 1 bulan lebih. Namun bisa dimaafkan dan beliau memakluminya. Judul yang kutulis Novel tersebut adalah NASI LEMAK MELANKOLIS. Bertema perjuangan seorang introvert bekas jajahan pembulian masa sekolah. 
Setelah kukirim via e-mail, aku dapat surat perjanjian dari penerbit penulis besangkutan. Beberapa hari kemudian setelah itu aku dapat fee sebesar sekian juta (maaf tak kusebutkan berapa rinciannya). Dari situ kupikir ada keseriusan dari pihak penulis dan penerbit. Aku bersyukur begitu mendalam.
Jadi, aku ingin memberi saran kepada penulis senior Indonesia (khususnya yang tak menjawab e-mail sampai kiamat): 
Jadilah pribadi yang merendah, jangan Anda kira dengan tulisan yang berbentuk buku karya Anda maka Anda sudah merasa tak perlu menjawab e-mail dari penulis pemula. Asal Anda tahu, penulis pemula lebih bergelora semangatnya ketika mendapat jawaban langsung dari e-mail Anda. Tujuan Anda dengan ingin merubah negara ini menjadi negara suka membaca berawal dari kerendahan hati Anda.

Sekian dari saya....

1 komentar: