Pages

Senin, 29 Agustus 2016

Stress dalam Menulis

Stress dalam Menulis

Stres dalam usaha kekreatifan itu hal biasa. Tapi janggal jika menyangkut kekreatifan bisa stres. Karena kreatif itu menyangkut seseorang yang terpanggil atas dasar hatinya untuk memilih terampil atau kreatif. Bisa jadi seseorang itu tidak punya inspirasi lagi, mengalami kebuntuan ide untuk lebih berkembang, tidak punya percaya diri dan sadar diri bahwa dia tak punya inovasi lagi.  Bahkan saya pribadi juga pernah stres, hingga tidak menulis untuk sekian lama. Yang nyaris tak bisa dibilang ada 'kehidupan'  dalam menulis. Bagaimana tidak, jadwal saya begitu padatnya. Pagi saya harus kerja sekitar jam 8 pagi hingga kadang-kadang saya juga harus hidup 'terselimut' kerja. Saya harus pegang HP untuk melayani pesanan, aduan dan saran dari customer saya. Maklum, saya tinggal di mes kantor di perusahaan Malaysia sebagai customer servis (CS), saya juga sebagai administrasi keuangan, pendataan data masuk, kadang kalau sudah waktunya membayar tagihan saya juga yang mengurus, dan bahkan paling antimainstream ketika saya harus bangun (terpaksa) ketika suara klakson container  terdengar kencang pada saat jam tidur saya diatas jam 00:00. Jadi, intinya saya nyaris tak ada waktu untuk menulis.Tapi itu dulu, sekarang saya banyak waktu untuk menulis. Setelah kejadian deportasi karena dokumen saya yang dianggap tidak valid dengan data imigrasi Malaysia. Saya sudah 2 tahun di kampung. Berwiraswasta (kononnya) padahal saya cari kerja tidak dapat-dapat. Maka kebiasaan menulis saya hidupkan lagi. Seharusnya tak ada  ada alasan lagi 'tak punya waktu'. Tapi begitu, ini adalah sebuah paradoks, menulis itu gampang, tapi kenapa saya begitu amat sulit memulai menulis. Otak rasanya buntu. Ketika pen hanya di atas kertas saja. Tergeletak tidur begitu juga dengan saya, tergeletak tidur.  
Once again, karena menulis itu panggilan hati, bukan tekanan sosial yang mengharuskan kita untuk bereksistensi di dunia ini. Menulis itu tak harus ditulis dalam sebuah buku atau blog (seperti yang Anda baca sekarang ini). Menulis itu bisa juga membaca. Dalam konteks ini, membaca begitu luas cangkupannya, bisa jadi selain membaca buku, Anda juga membaca lingkungan Anda, suasana saat pagi menjelang, bagaimana hari menyambut Anda. Jadi menulis itu adalah kita selalu menghidupkan empati dan peduli kepada siapa pun, menulis bukan saja hitam di atas putih, putih di atas hitam juga bisa, yang saya maksud itu kemungkinan menulis bisa terjadi dimana pun Anda berada. Jika di sini saya tekankan kepada Anda untuk lebih berempati, lebih elok lagi ilmu diikat di sebuah diari atau blog. Kenapa? Menurut pakar psikologi, menulis itu bisa dibuat jalan lain selain curhat dengan sesama. Saya juga buktikan kepada saya sendiri, saya termasuk orang introvert (sulit bergaul). Tapi meskipun begitu saya punya sahabat baik yang selalu sedia mendengarkan curahan hati saya. Tapi tak semuanya hal hidup kita dibeberkan ke orang, apalagi kalau itu bernilai sangat privasi. Jadi menulis adalah jalan yang saya tempuh. Di atas kasur, saya menulis. Kadang kala ada suara dari hati saya, yakni suara pesimis yang mengatakan: "Kamu itu cowok! bukan cewek! atau mungkin kamu maho! (waduh!). Saya terus saja menulis, karena Pramodeya Anata Toer pernah bilang "Setinggi apa pun pendidikan yang kamu tempuh, jika tidak menulis tak akan ada jejak kamu di dunia ini," (kurang lebih seperti itu).

Jika stres melanda, saya akan menulis secara random, apa saja yang terlintas selama itu menyangkut keresahan jiwa, maka akan saya tulis.

Jika ingin menulis secara konsep atau teratur, mungkin ini adalah salah satu caranya. Dan menulis bukanlah tentang hal EYD, ejaan itu dipikir belakangan. 

Tulisan ini adalah pengalaman saya....
Dan setiap tulisan ada pertanggungjawabannya, mungkin  Anda menilai atau menduga-duga, siapa sih saya?
Saya adalah penulis amatir yang tak terikat oleh penerbit. Saya penulis bebas. Saya pernah menulis cerpen dan diterbitkan oleh penerbit (maaf tak saya sebutkan penerbitnya) di Yogyakarta. Dan yang paling saya tunggu-tunggu adalah pengalaman hidup saya yang saya tulis di novel dengan judul: "Nasi Lemak Melankolis". Doakan ya!

BERSAMBUNG . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar