Pages

Rabu, 20 Mei 2020

Kendala Kerja di Rumah (Work From Home Gara-Gara Covid-19)!

Sumpek. Itulah awal dari tulisan ini. Sumpek alias bosan pasti pernah menyergap siapa pun yang kerja di rumah dengan durasi yang cukup lama, apalagi tema Work From Home sedang tranding, yakni kerja yang dikerjakan di rumah. Ini semua gara-gara tamu besar kita Covid-19 atau Corona.

Sebenarnya, kerja di rumah itu sangat menyenangkan, apalagi kalau ditunjang dengan pendapatan yang besar, ditambah lagi dibarengi istri dan anak (non-jomblo), wah...tentu saja sangat menyenangkan dan terhibur. Namun, itulah ekspektasi indah. Kenyataan, kebahagiaan dengan keluarga, anak dan istri agak goyah, karena pendapatan jauh dari cukup. Seorang suami sebagai kapten keluarga, harus putar otak agar nafas kehidupannya lebih banyak diperoleh.

"Ad, kamu kerja apa di rumah?" tanya seseorang.
"Kerja nulis," jawabku.
Senyum orang itu lantas skeptis. "Coba cari yang hits, bisa jualan masker, handsanitazer, kue--kan entar lagi lebaran--atau baju lebaran bisa. Kalau kerja nulis, emang bisa ngasilin uang cepat?"

Dialog itu berlalu begitu saja, bahkan dialog itu sekarang Anda baca. Makasih ya atas waktunya untuk membaca blog ini.

Emang sih, orang yang mengajakku berdialog itu benar. Jika dituruti kerjaan sebagai penulis--sebagai penulis yang belum punya nama lagi--maka dalam satu hari saja pikiran terganggu. Kepikiran, nanti makan apa, minum apa, eh popoknya si dedek, kepengen sirup marjan, aduh udah akhir bulan, listrik, air  dan lain-lain.

Jadi perlu cari cara untuk mengatasi surfival kehidupan. Salah satu langkahku untuk mengatasinya adalah rangkap menjadi penulis dan sekaligus marketing online, dan sekali-kali iseng menjadi blogger (setelah sekian lama enggak nulis di blog).

Saat saya nulis di blog ini, sebenarnya ada pekerjaan yang belum selesai, yakni membuat buku. Temanya apa? Ada deh! yang jelas bisa memakan waktu yang lama dan panjang, dan tulisan jenis ini berbeda dengan yang biasanya aku tulis. Sebab setiap tulisan yang kutulis bisa berbeda-beda, apalagi ada yang naruh standar dari tulisan yang biasanya aku pakai. Jadi, mulai mempelajari dan hati-hati.

Selama kerja di rumah, bukannya gampang, tapi ada saja yang membuat pikiran ini agak panas. Setidaknya ini pengalamanku, karena barangkali apa yang sulit, belum tentu juga bagi orang lain. Kendala-kendala kerka di rumah diantaranya adalah.

  • Tabung gas abis

Padalah udah membaranya semangat ini ngerjain tugas, tahu-tahu dimatikan sama tabung gas. "mas gasnya abis, tolong belikan ya?" kalau ego dan enggak mau beliin, bisa-bisa enggak makan dan enggak ada gudapan di depan mata memandang.
  • Galon Abis
Sama seperti kendala pertama. Padahal masak air kan bisa, ya enggak? eh iya ya, gasnya kan abis. Haduh. Maka, ya enggak maka-maka aja,  langsung aja beli galon.
  • Dimintai Bantuan Sama Istri
Yang jomblo dan ingin menikah. Menikahlah. Jangan salah paham sama tulisanku ya. Ketika Work From Home, saya sering dimintai bantuan istri. Misal "mas bisa minta tolong ambilin daun pandan depan rumah?"
Lantas apa yang aku lakukan? ya berangkat lah. Langsung bantu. Sebab keperluan istri adalah keperluan kita juga. Ketika kita memberi service terbaik ke istri, maka rumah seakan seperti rumah, bukan pasar.
  • Ocehan Anak
Anak terus aja deketin saat kerja, ocehannya kenceng. (Alhamdulillah ada anak, harus bersyukur). Tapi akhirnya konsenterasi menjadi beralih ke anak. Khawatir pegang kabel laptop lah, khawatir kepeleset lah, khawatir terantuk lah. Akhirnya kerjaan tertunda dulu.
  • Dikira Main-Main di Depan Laptop
Padahal kerja. Serius. Tuts-nya berisik lagi. Memang sih kalau dilihat sepitas saja, semua orang yang sedang bersama laptop itu terkesan santai atau--istilah anehnya--santuy. Padahal, kalau Anda bisa berubah posisi dengan orang yang sudah lama duduk di depan laptop, mungkin Anda menggeliat, pengen berdiri, pengen gerak-gerak. Karena bok*ng atau pinggul ada batasnya ketika dia menahan badan bagian atasnya.
  • Boyok Protes

Mesin saja bila bekerja terus-terusan tanpa jeda lama-lama akan rusak. Apalagi tubuh manusia yang memang ada batasnya, jadi boyokku sakit. Kalau lama-lama duduk, berdiri sampai tak bisa tegak. Ada yang bilang kalau duduk terlalu lama itu enggak baik ya? sebab bisa membuat otak tidak bisa bekerja dengan maksimal. Pantaslah kalau begitu, kadang-kadang seorang penulis butuh editor juga, sebab sebagai penulis kerjaannya duduk saja, maka diperlukan editor untuk saling melengkapi, agar kalau ada kata yang salah atau pas bisa dibetulin.

  • Perhatian Harus Dibagi

Aku pernah bertekad lembur dalam beberapa hari ke depan. Ketika sudah bertekad, rupanya langkahku salah. Sebab, keluarga perlu hak juga untuk mendapatkan waktuku. Enggak bisa lah, waktu itu dimiliki oleh satu orang, apalagi ketika ia sudah berkeluarga. Tapi, jomblo jangan takut akan hal itu. Kamu bakal menjadi pria sejati kalau penuh tantangan.

  • Pelanggan Minta Perhatian Juga
"Haduh mas, saya sudah lama nunggu di Warung Cak Man!" protes pelanggan. Jadi, meski berkeluarga, jangan hanya keluarga aja yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah pelanggan. Perhatiaan itu yang penting ada di waktu dan kondisi yang memang pas. Bukan protes pada tengah malam.

Sudah. Cukup sekian tulisan ini. (ndak mari-mari engko pas kerjoan laine, hadeh)
Terima kasih.

Selasa, 19 Mei 2020

Naskah Tidak Diterima Penerbit Gara-Gara Ada Wabah Corona




Siang ini gerimis di Kota Jember. Ah....begitu syahdu. Beberapa bulan sudah aku di rumah?
Maksudku sudah beberapa gigihkah aku mempertahankan diri ini agar di rumah saja?
Tadinya aku merasa biasa saja di rumah. Tak terlalu berpikir yang berat. Karena pekerjaan freelance yang membuat diriku tetap bersarang di rumah, meski pun akhirnya aku nyari pekerjaan utama juga. Karena kerja freelance sebagai penulis tak serta merta menghasilkan uang secara langsung.

Sebelum warta corona merebak, aku sempat menerima job dari suatu penerbit. Tema yang aku tulis tidaklah begitu berat. Dan deadline pula dua bulan. Jadi, tak terlalu terburu lah dengan job penerbit tersebut. Aku juga masih bisa nyambi pekerjaan lain. Job menulis tersebut aku buat sampingan saja. Di sela-sela kerja, sedikit demi sedikit kutulis. Kususun kata-kata dengan teratur. Aku pikir deadline dua bulan masih bisa membuat diriku bernafas lega, atau setidaknya aku enggak ngos-ngosan ngerjainnya.

Di media sosial, di TV, bahkan di radio menjadi lautan berita corona. Di saat itu pulalah aku berhenti sementara dari pekerjaan utama, yakni penjualan suatu produk, dan menerapkan penjualan via delivery atau pemesanan lewat WhatsApp.

Ketika naskah itu selesai. Kukirim ke email penerbit. Ada perasaan ikatan deadline lepas. Sedikit bebas. Mulanya pihak penerbit merespon dengan singkat, "Baik, kami terima"

Lalu, dikemudian hari aku terima WhatsApp dari mereka, berikut isinya:

Selamat siang Mas Saad,
semoga senantiasa sehat sentosa serta selalu berada dalam lindungan Tuhan YME. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan informasi perihal kelanjutan kerjasama antara penerbit dan Mas Saad.
Terkait perkembangan penyebaran Covid-19 di Indonesia, saat ini kantor kami sedang mengalami krisis yang juga berimbas pada seluruh kegiatan operasional perusahaan. Oleh sebab itu, dengan berat hati kami harus melakukan pembatalan projek-projek penulisan naskah yang sedang dalam proses pengerjaan, maupun yang sudah teman-teman penulis selesaikan, termasuk untuk naskah Mas Saad yang berjudul "Bla...bla...bla....".
Untuk itu, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya, dan memohon pemakluman serta kebesaran hati dari teman-teman penulis sekalian untuk menerima keputusan ini. Semoga teman-teman penulis sekalian selalu diberikan kelancaran rezeki dan senantiasa berada dalam lindungan Tuhan YME.
Sekian dari kami, terima kasih atas pemakluman dan kerjasamanya.

Salam,
Redaksi Penerbit

Bukan main, perasaan lemas langsung menyergapku. Bagaimana tidak? sebab saya menggarap naskah itu dengan susah payah dan mengusahakan yang terbaik. Namun, endingnya seperti ini. Kecewa tentunya. Lalu aku pun membalasnya:

Selamat siang juga,
tentu saja ini kabar menyedihkan buat saya. Sebab yang saya tulis mengenai bla...bla...bla..., dan rupanya saya ngoyo dalam pengerjaannya, dan semakin bertambah ngoyonya apabila teks tersebut tidak memberikan hasil finansial.

Tapi, insyaa Allah saya akan berlapang dada dengan keputusan redaksi penerbit Karena dari penerbit pula saya bisa berkarya banyak.

Terima kasih.


Begitulah, aku membalasnya. Walaubagaimana pun mereka berjasa besar kepadaku. Sudah menjadi jembatan diriku menjadi penulis.

Corona memang benar-benar baik bukan? Membuat seseorang semakin lama di rumah. Akrab dengan rumah dengan seisinya. Tapi sayangnya enggak bisa akrab dengan keadaan, apalagi uang sekarat, dompet berangin.

Jadi, apakah ada penerbit yang bersedia menerima naskahku?