Pages

Minggu, 10 November 2019

Berdirinya Just Typing Publisher, Penerbit Pendatang.

Kamis 7 November 2019,

Jam menunjuk ke angka 3.30 PM. Sore hari ketika istri sedang memandikan tole. Saya siap-siap untuk pergi ke seseorang yang sama dengan saya mengenai kecintaannya kepada literasi. Tapi kecintaan saya terhadap literasi, dalam hal ini termasuk hobi, maka hobi saya ini agak luntur karena didesak oleh kebutuhan hidup. Well, saya sekarang punya istri dan anak, tentunya naif sekali ketika disamakan dengan masa lajang yang masih banyak waktu untuk menulis, dan lajang itu lapar sendiri, tanpa harus memikirkan perut yang lain tentunya. Jika menulis adalah hobi saya, maka kebutuhan hidup menutupi hobi hampir seluruhnya.

Kepergian saya untuk menemui seseorang bernama Pak Iman Suligi, adalah keingintahuan saya apakah menulis itu perlu ditinggal atau berjalan seiringan tanpa harus pusing memikirkan pendapatan. Menulis menurut saya adalah bersumber dari pikiran. Jika pikiran tenang maka tenang pula tangan menari di atas tuts. Namun jika pikiran terisi beras, sayuran, camilan, mainan anak, popok dan lain-lain, maka mau enggak mau pikiran butek.

Pak Iman Suligi--yang dapat informasi dari teman lamanya bernama Pak Iswandi--beliau tinggal di Kreongan.

"Pokoknya terus ke arah barat dari rumah sakit paru-paru," jelas Pak Iswandi, pas saya temui di tempat kerja. "Nah, nanti pas di tikungan jalan ada gang yang bertuliskan kampung baca. Masuk aja, tanya aja namanya Pak Iman Suligi, insyaallah orang-orang sana pada tahu."

Flash back, ceritanya saya bisa kenal dengan Pak Iman Suligi,  ketika saya ngobrol-ngobrol ringan mengenai masa lalunya Pak Iswandi yang dulu menurut keterangan beliau, pernah kerja sebagai penulis bersama seorang sastrawan besar yang kini sudah meninggal, namanya Pak Ayub (kalau enggak salah).

"Saya juga kenal dengan Pak Iman Suligi di Kreongan, beliau memiliki perpustakaan sama halnya dengan Pak Ayub. Mungkin mas Saad bisa menemuinya berbagi ilmu literasi." Jelas Pak Iswandi. Kala itu sore hari, Rabu, tanggal 6 November.

Saya yang mendengar penjelasan seperti itu bertanya banyak mengenai Pak Iman Suligi, karena tertarik akhirnya saya memutuskan minta kontak beliau dari Pak Iswandi.

Pas malam Kamis saya telepon Pak Iman Suligi, membuka pembicaraan bahwa saya dapat kontak beliau dari temannya.
"Pak Iswandi? Ohh enggeh mas. Monggo kalau pengen main-main ke tempat saya," jawab yang di seberang telepon. Nada bicaranya ramah.

Nah, kamis sore saya hendak pergi ke tempat Pak Iman Suligi. Setelah pamitan dengan istri langsung cusss pergi ke sana.

Setelah sampai di rumah sakit paru-paru, saya berhenti sejenak untuk membuka Google maps, di searching saya tulis "Kampung Baca", namun Google maps tidak bisa menemukan yang saya sebutkan itu. Nah, kejadian ini sebenarnya sama seperti dulu ketika ada seorang pegiat literasi yang menganjurkan saya untuk pergi ke Kampung Baca, tapi bedanya saya mengeceknya pas ada di rumah. Google maps tidak bisa menemukan lokasi tersebut.

Saat berhenti itu, saya berpikir. Saya buka Google dan saya ketik nama Iman Suligi. Nah, di sana saya melihat profil dari beliau. Mata saya langsung tertuju ke tulisan dengan ejaan "Kampoeng Batja", Oalah ejaannya rupanya pakai ejaan lama. Pantesan Google maps tidak bisa menemukan tempat ini. Lalu saya ulangi di kolom pencarian Google maps dengan kata "Kampoeng Batja", nah... Ketemu. Jaraknya kira-kira 400 m dari saya berhenti di tepi jalan.

Setelah saya masuk gang saya bertanya ke seorang ibu-ibu mengenai kediaman Pak Iman.
"Oh, masnya masuk di gang rumah itu," ibu-ibu menunjuk ke sebuah rumah. "yang depan rumah ada galonnya, parkir motornya depan rumah itu nggak papa kok,"


Setelah itu saya menuju ke sebuah gang kira-kira lebarnya 1 meteran.

Rasanya seperti penemuan, bagaimana tidak, dari gang kecil yang seakan saya salah jalan dan rupa-rupanya, setelah itu saya dapati sebuah tempat yang nyaman, luas, beraura seni. Salah tidak salah.


Saat itu Pak Iman nampak sibuk dengan angklung di tangannya. Lantas beliau tersenyum ke saya.
Saya langsung memperkenalkan diri.
"saya yang kemarin telepon njenengan, Pak"
"Oh, mas Sa'ad?"
Kami pun bersalaman. Pak Iman menyilahkan saya untuk duduk.
"Sebentar ya, angklung ini hilang nada do-nya," kata beliau.
Setelah beberapa menit akhirnya beliau bisa duduk bersama saya dan memulai obrolan ringan.
Beliau menjelaskan, Kampoeng Batja berdiri dimulai dari langkah kecilnya di tahun 1978. Di tahun tersebut beliau  menyadari kalau buku koleksi pribadinya banyak, lantas beliau terpikir membuka taman baca kecil-kecilan di teras rumahnya.

Kutanya awal langkah kecil, dan sekarang bisa besar, "pasti modalnya besar ya?" Tanya saya.

Panjang lebar, obrolan kami mengenai literasi dengan beliau.

Obrolan dengan Pak Iman saya ringkas pada titik penting. "Saya ingin mengikuti jejak Pak Iman sebab dalam dunia kepenulisan, semangat saya naik turun, saya ingin punya tempat yang setidaknya bisa menampung aspirasi literasi di Jember ini. Saya punya ide untuk membangunnya di rumah saya. Jadi langkah apa untuk mempromosikan ini pak?" Begitu terang saya.

"Buat aja banner di depan rumah mas."

Dari situ muncullah ide untuk membuat nama perusahaan (ya perusahaan ecek-ecek). Nama perusahaan itu awalnya just sitting. Nama ini merujuk karena banyak teman-teman bertanya bagaimana untuk menjadi seorang penulis, saya jawab "ya, harus tahan duduk, cuma duduk (just sitting)." Baik, selain duduk tentu harus Baca dong!
Karena banyak  orang-orang kreatif, dan ada yang cenderung suka memplesetkan, akhirnya Just Sitting saya ganti dengan Just Typing. Saya khawatir kalau dikasih nama just sitting akan di kepelesetkan menjadi sinting. Kan parah tuh.

Gambar di atas ini salah satu desain, usaha saya dalam mencintai literasi tanpa harus meninggalkannya karena kebutuhan hidup.