Pages

Selasa, 29 Oktober 2019

Nadim Makarim jadi menteri, sementara diriku tetap disengat mentari.


Selasa.


Di jam 04.54 AM, di penghujung Oktober 2019  terang mentari lebih awal muncul di ufuk timur. Setelah memanasi mesin motor, aku berangkat untuk kerja. Rajin kan?

Meskipun menurut pribadi, kerjaku ini kuanggap tidak sebagai kerja melainkan berpetualangan,  kalau kata orang, profesi kerja  yang kujalani ini disebut kerja ngukur jalan (meskipun aku gak pernah ngitung juga).

Tahu Gojek kan? Ya, aku kerja sebagai driver Gojek. Pekerjaan keren ini sudah menjadi rutinitasku dibalik jaket hijau,  dan disela-sela itu pula aku sempatkan sebagai penulis freelance. Seperti yang kamu baca di blog ini, tulisan ini kutulis ketika duduk sambil nunggu orderan.

Awal mulai bekerja sebagai driver gojek November 2017, setelah Ibuku tutup usia di tanggal 12 November 2017.

Sengaja perut sepagi itu hanya aku isi dengan teh manis, dan lebih memutuskan segera ngojek. Berharap penumpang tidak dipatok ayam yang berkokok lebih awal dariku.

Aku mangkal, nunggu penumpang dinaungan masjid wilayah perumahan Tegal Besar, Jember. Di dalam masjid nampak dua orang menunduk, lirih dari luar terdengar mereka melantunkan ayat suci.

Di masjid itu, aplikasi  gojek ku stel autobid. Yap, dengan harapan penumpang bisa nyantol langsung tanpa harus memilih orderan. Menit per-menit kulalui dengan duduk dan menunggu. Sambil menulis di blog ini tentunya. Mungkin kamu bertanya-tanya, "ngetik di layar handphone dengan kata yang tidak sedikit apakah jempol nggak keriting?"

Mungkin ini bisa jadi tips dariku untuk kamu yang ingin menjadi penulis di sela-sela kesibukan utama. Buka aja notes (bisa langsung ke blogger, kalau punya blog) tap area tempat kamu biasanya menulis teks. Di bagian keyboard cari simbol mikrofon, kalau sudah ketemu tekan tap lama simbol mikrofon. Nanti ketika  melihat "Ucapkan sekarang", ucapkan hal yang ingin kamu tulis. Gampang kan?

Sampai tulisan sebanyak ini akhirnya aku mulai merasakan gelisah karena masih belum ada penumpang yang nyantol. Aku enggak terima melewati menit per menit cuma dengan duduk, bahkan sampai mau satu jam. Jiwaku berontak, apalagi melihat dunia berganti terang. Geliat di perumahan sudah nampak. Jam menunjukkan 05. 51. Waw, hampir satu jam!

Aku pun whatsApp teman sepergojekanku. Tanya, kemarin orderan dapat berapa? 

Sebentar saja dia jawab, “dapat 3 bro”

Ya, sebab aku kemarin enggak Ngojek, karena aku kemarin memulai ngojek siang-siang begitu. Jadi kayaknya wajar kalau kemarin terlalu siang untuk ngojek dan pelanggan udah berangkat dengan driver lainnya. Dan ini diperkuat oleh kata teman, katanya ngojek siang-siang itu sama saja membuang customer. Nah, karena alasan itu yang mendasari aku ngojek di awal pagi di hari ini.

“Seharian itu bro?” tanyaku, lanjut whatsApp.

“Iya...” jawab diseberang.

Waw!

Dengar kabar semenjak Gojek menaikkan tarif disaat itu pula berangsur-angsur customer dari Gojek mulai berkurang.

Seorang bapak-bapak, keluar dari masjid,  dan bertanya kediriku, dari mana asalku. Tidak lama kemudian ada dua orang, sepertinya petugas kebersihan. Seorang menyapu di latar masjid, dan yang lain tak dapat kupandang (maksudnya dibalik tembok). Di latar ada motorku parkir dengan gagah. Bersihinnya lama sekali. Sampai-sampai aku baru paham kalau tukang bersih-bersih itu ingin menyapu motorku sekalian (andai saja bisa), sebab dibawah motor ada sampah yang tertahan. Dan kupikir sampah masih bisa terjangkau di bawah motor. Jadi sampah seolah seperti bayangan dari motor. Ya, kadang kita harus paham bahasa isyarat. Dan kuartikan kalau aku harus enyah dari sekitaran masjid.

Tulisan ini pun ku save dulu di blogger.

Kira-kira jam 6 lebih, aku melanjutkan perjalanan. Muter-muter. Konon kata teman sepergojekanku, muter-muter itu tujuannya agar menambah riwayat perjalanan dan itu pengaruh pada perolehan customer. Maka aku pun manut. Muter-muter.

Tahu enggak, sampai jam 08.00 pagi,  akhirnya aku dapat menenteng bubur sumsum (dapat dari beli), dan setelah itu pulang dengan dompet yang masih kerempeng.  Aku harus sabar, penumpangku dipatok ayam mungkin. Apa harus lebih pagi lagi ya?

Inilah realita penulis freelance, yang nyambi Gojek. Kadang orang berpikir menjadi penulis itu sesuatu yang hebat. Misalnya ada orang menilai bahwa diriku sukses (sukses dari mananya?), ada juga yang bilang kalau diriku terkenal (Ya, terkenal, bener itu, tapi terkenal aja enggak cukup buat bahagia. Orang terkenal itu perlu uang juga), ada juga yang bilang kalau diriku pintar (pintar? Aaamiiin, tapi orang pintar juga perlu uang. Uang!!).

Aku kini punya istri dan anak. Aku pulang membawa motor, tapi sekali lagi, tidak bisa membuat dompet buncit. 

Ohya aku belikan bubur sumsum seharga rp3.000, itupun untuk istri aja.

Nadim Makarim sekarang jadi menteri, sedang diriku tetap disengat mentari.
Ya, inilah nasib driver Gojek, tidak sama dengan Makarim, kalau aku hanya bisa makan Es Krim. Tapi apa daya terburu cair dulu uangnya (cair dalam arti lenyap uangnya, dibelikan bensin demi riwayat perjalanan yang katanya mempengaruhi pendapatan orderan). Tapi buktinya, hari ini aku enggak dapat orderan.

Tapi, percayalah! Rezeki enggak kemana. (tapi meskipun rezeki enggak kemana, kita harus ke mana-mana mencari rezeki). Meskipun aku sudah kemana-mana memutari beberapa ruas jalan namun, Alhamdulillah, bersyukur masih dapat angin.

Terus kerja apa dan usaha apa ya?
Menulis disela-sela nganterin penumpang terbuka lebar, tapi ketika penumpang enggak ada, maka bukan sela-sela lagi, namun pintu menulis terbuka lebar. Kesempatan!  Tapi tunggu dulu, Job menulis freelance juga enggak bisa diharapkan.

Namun, aku akan terus terapkan kepada diriku, setiap hari harus menulis, meskipun sesibuk apa pun.

Dan uang, kumohon engkau segera kembali kepadaku dengan banyak ya!

Selamat buat Pak Makarim atas terpilihnya menjadi menteri. Semoga bapak membaca blogger saya. Kalau sudah membaca tolong solusinya. Mungkin saya bisa kerja sama Anda, saya bisa ngetik dengan cepat, jari-jari saya suka menari di atas tuts. Hehe.

Rabu, 23 Oktober 2019

Apa gunanya menulis, kalau karya tidak diapresiasi?



Sudah lama saya nggak menulis di blog ini. Kali ini saya datang kembali di blog ini karena sebuah pertanyaan sederhana yang terlontar pada seseorang yang ingin menulis dan menciptakan karya tulis.

 dia bertanya dan sekaligus menyampaikan rasa kurang optimis. Seperti pesan WhatsApp yang saya terima ini:

"Sudah hampir menyerah saya.. apa gunanya menulis terus kalo karyanya tidak diapresiasi kan?" 

 Kalimat di atas ini, tanpa mengurangi dan menambahi kata.

Baiklah sebelum saya jawab pertanyaan tersebut, saya ingin mengatakan kepada siapapun Anda utamanya yang membaca blog saya ini, kalau Anda bukan seorang penulis , maka Anda haruslah tetap menulis. Biasakanlah tangan Anda tetap menulis. Maksa banget ya?

Maaf, sebab apa yang ditulis Anda adalah langkah awal yang akan mewujudkan apa yang ada di kepala Anda.

Meskipun mungkin menurut Anda tulisan Anda kedepannya nggak ada yang mengapresiasi.

Lah, terus percuma dong?

Tahukah Anda, Muhammad Ali, petinju kelas berat yang paling terkenal selalu menulis dan hasil tulisannya yang berupa puisi itu tujuannya mengejek calon lawannya sebelum pertandingan. Dan hasil tulisannya akhirnya dibukukan. Padahal sudah jelas dia petinju bukan penulis.

Pasti pernah dengar juga Albert Einstein, kan?
Anda pasti tahu dia bukanlah penulis, layaknya Muhammad Ali. Tetapi, tahukah Anda sepanjang hidupnya dia menulis kurang lebih dua ribu makalah. Banyak bukan? Tujuan dirinya menulis adalah untuk menuangkan segala kemungkinan yang kemudian melahirkan teori-teori besarnya. Dari tulisan-tulisan itulah ada jejak keilmuan Albert Einstein.

Pertanyaan selanjutnya adalah seperti ini:
"Bagaimana kalo tema yg dieksplorasi sering yg terlalu asing? misalnya saya suka nulis tentang astronot ato orang yg hidup di abad 19.
Bagaimana cara menemukan pembaca yg berminat?"

Jawabannya, jangan mencari pembaca yang minat. Yang penting adalah Anda ada minat untuk menulis. Jika Anda terlalu memikirkan peminat maka Anda akan tetap tidak punya karya. Jika Anda mencari banyak yang minat berarti itu pasaran. Yang pasaran itu biasanya yang paling murah. Sebab namanya juga pasaran (umum). Jadilah pembaru, yang tidak ada di pasaran namun mampu menciptakan pasar.

Anda haruslah punya komunitas yang isinya penulis semua. Dan Anda jangan hanya berinteraksi dengan penulis di dunia maya, seperti Facebook, grup WhatsApp, instagram dan lain-lain. Tapi, Anda harus menemukan penulis di dunia nyata juga. Cobalah bagikan karya Anda yang masih mentah, biarkan mereka membaca karya Anda dan menilai karya Anda. Keseringan komunitas itu bisa membantu jalan yang harus ditempuh Anda, dalam hal ini menerbitkan buku.

Sekian dari saran saya, semoga Anda bisa menjadi seorang penulis besar di Indonesia ini.

Salam literasi.
Saad Pamungkas.