Pages

Sabtu, 20 Juni 2020

Cara Agar Hobi Menulis Berlanjut Meski Sudah Berkeluarga


Penyesalan biasanya ada di belakang. Ketika masih muda dan lajang, banyak kesempatan waktu yang digunakan kurang bermanfaat. Salah satu contohnya adalah bermain game terlalu lama. Sehingga banyak waktu terbuang sia-sia, padahal ada begitu banyak peluang yang bisa diraih, hingga bisa mengangkat reputasi kita dalam suatu bidang tertentu. Karena blog ini mengenai kepenulisan, maka pembicaraan tidak jauh seputar itu.

Baik, tidak berarti aku katakan nge-game sia-sia, tapi kita harus melihat esensi dari perbuatan tersebut. Apakah bermanfaat secara langsung--selain nge-refresh pikiran--bagi kita? Atau secara finansial apakah bisa membantu? Apakah dengan naiknya level permainan tersebut, membuat level kehidupan kita yang real lebih gampang? Tentu saja, Anda tahu bahwa pertanyaan ini retorika saja.

Aku sekarang sudah berkeluarga. Aku sampai sekarang berusaha terus agar tidak berhenti dari kegiatan menulis. Sebab kegiatan ini menurutku yang bisa memelihara pikiran tetap dalam pendirian, bahwa sebuah tulisan itu adalah tali yang mengikat kuat ilmu. Menulis itu perbuatan mulia yang menjauhkan kita dari ketidakpintaran.

Lalu, pertanyaannya adalah, bagaimana caranya menulis saat sudah berkeluarga? bukankah repot? Pikiran dan perhatian kita terbagi menjadi beberapa bagian, keperluan harian, perhatian kepada pasangan, belum lagi ada anak? Bagaimana caranya konsentrasi apabila anak menggondeli kita yang sedang menulis?

Semua tergantung kepada niat saja. Terdengar klise kan? Tapi begitulah, jika niat kuat kita tak akan mudah menyerah untuk terus berusaha mewujudkan mimpi kita. Aku menulis blog tema ini pada jam 22:43 (saat mata melirik ke bagian pojok kanan bawah dari laptop). Sebelum menulis blog ini, aku begitu ngantuk tadi. Akhirnya tertidur. Mungkin sekitar satu jam-an, aku ngelilir, dan terpikir untuk menulis blog dengan tema yang sekarang Anda baca ini.

Motivasiku menulis tulisan ini adalah dari seorang anak SMP kelas satu dari Ponorogo, dia bertanya kepadaku, bagaimana cara menjadi seorang penulis? kujawab sering-seringlah membaca. Lalu ia menjawab, sudah sering. "Tapi kenapa mood kadang turun, turun, dan akhirnya tidak ada? ini pas kebetulan ada kak," begitu katanya.

Jangan menunggu mood datang. Semua harus dipaksakan. Kebiasaan itu harus dipupuk dengan terpaksa. Bagaimana kalau masih sulit? sekali lagi dipaksa! Coba Anda perhatikan lumba-lumba, ikan itu senantiasa lompat-lompat di kurun waktu tertentu. Kenapa mereka melakukan itu? kenapa tidak capek? Ya, karena mereka terbiasa.

Begitu juga dengan kita, apabila tidak ada kegiatan di ruang tunggu (misalnya), kita terpaksa main  game sambil menunggu waktu panggilan nama kita dipanggil atau menunggu kendaraaan umum datang menjemput kita. Kenapa kok main game? Apa enggak capek? Pasti jawabannya: ya enggak lah, kan asyik, karena udah seperti ini menyenangkan diri. Memangnya gimana cara menyenangkan diri pas saat nunggu?

Jawabannya adalah karena kebiasaan. Coba sambil menunggu sesuatu bukalah lembaran buku. Mungkin saranku ini ditolak atau dianggap aneh. Eh, yang bener aja, menunggu itu membosankan, waduh, malah diberi buku, jadi bosennya berlipat-lipat!

Baik, Indonesia ini penduduknya memang lemah dalam hal bacaan atau berliterasi. UNESCO mengatakan kita itu berada di urutan kedua dari belakang, minat baca kurang. Urutan 61 dari 62 negara.

Jadi, ketika kita berusaha melakukan waktu dengan baik, misal di tempat umum membaca buku, malah kita menjadi objek yang aneh. Kita bisa sendirian. Bahkan bisa jadi kita akan difoto, lalu di upload di medsos dengan caption: Ini contoh orang yang patut ditiru. Tapi nyatanya tidak ditiru. Mungkin harus nunggu yang baca buku banyak orang, barulah kita ngikut. Begitukah? Enggak, salah. Harus dimulai dari kita, satu orang kalau perlu. Berani beda?

Kembali lagi ke kegiatan menulis disaat berkeluarga. Apakah bisa? Jawabannya adalah bisa. Wajib ada niat. Bagaimana wujud dari niat itu? diantaranya adalah:
  • Menyisihkan waktu dengan sungguh-sungguh
Kalau niat sudah sampai ubun-ubun, kita jangan mau kalah dengan alasan-alasan yang keluar dari pikiran negatif, yakni tidak mungkin. Anda harus yakin, Anda tidak hanya mungkin tapi sangat bisa melakukan.
  • Lihat celah ketika pasangan dan anak tidur
Seperti malam ini, aku melakukan aksi menulis saat istri dan anak tidur. Kali ini angka berganti menjadi 23.06. Kenapa harus mencuri waktu seperti ini? Karena kita jangan sampai lupa waktu bersama keluarga, istri perlu perhatian, anak juga perlu perhatian. Tapi bukankah kalau menulis hingga larut malam itu tidak perhatian terhadap diri sendiri? Ya, benar juga sih. Tidak salah. Malah kita jahat pada badan terutama mata kita yang terpaksa melek. Nah, loh, bagaimana?
  • Tumbuhkan cinta terhadap kegiatan menulis
Di poin ini, jawaban dari pertanyaan dari poin dua. Apabila kita sudah cinta dengan sesuatu, kita akan mengusahakan dengan segala cara. Jika kita cinta menulis, dan tak ingin dengan cinta ini menyiksa kita, utamanya mata, maka kita harus cari solusi.
Aku biasanya tidur awal. Lalu, ketika melek karena sebelumnnya minum banyak air, aku terpaksa ke kamar mandi, untuk buang air kecil. Rencanaku ini berhasil. Di kamar mandi aku basuh muka, sehingga melek. Padahal sebelumnya ngantuk. Lalu, seperti yang Anda baca sekarang, Anda membaca tulisanku ini, aku tulis sesudah tidur. Artinya mengistirahatkan mata terlebih dahulu.

Nah, itu saja, tips dariku. Semoga menginspirasi Anda semua. Jangan ada lagi alasan apa pun berhenti menulis. Jadilah penulis yang tangguh tanpa tanggungan pesimis!

Salam literasi!

Kamis, 04 Juni 2020

Bagaimana cara menerbitkan buku di Jember?




Anda datang ke blog saya mungkin sedang mencari-cari bagaimana cara menerbitkan karya tulis di kota kecil seperti Jember ini? Jember yang geliat literasinya bisa dibilang tak gemerlap seperti kota Yogyakarta. Jember minim minat baca. Jangankan Jember, Indonesia saja menduduki peringkat kedua dari belakang, atau peringkat ke-60 dari 61 negara. Itulah data yang saya jumpai dari riset UNESCO. Mengecewakan, bukan?

Nah, bagi Anda yang punya kerangka atau outline dari sebuah naskah (genre apa pun), ada rekomendasi dari saya mengenai penerbit yang bisa mewujudkan Anda menjadi penulis.

Fast respone atau cepat tanggap adalah perbuatan yang sangat saya sukai apabila bertanya-tanya kepada orang melalui online, entah berupa facebook, whatsApp, instagram dan lain-lain. Begitu juga ketika saya bertanya mengenai penerbitan, saya amat senang sekali dengan satu penerbit di Jember yang begitu cepat feedback-nya. Namanya penerbit Nur Media Publishing. Penerbit Indie.

Saya merekomendasikan untuk Anda-Anda semua, khususnya yang tinggal di Jember untuk cetak di penerbit tersebut. Sebelum lanjut lebih jauh, maaf saya tidak berniat untuk promosi. Sebab ini pengalaman pribadi saya. Saya berniat bisa membantu Anda, utamanya yang punya naskah atau pun baru cari-cari informasi, dan nyasar di blog saya ini. Dengan harapan, semoga mimpi Anda terwujud dengan kemudahan yang diberikan penerbit ini.

Kenapa saya merekomendasikan penerbit ini? ya, seperti alasan pertama saya di atas, yakni fast respone atau cepat tanggap menjawab pertanyaan. Bahkan sekedar salam sekalipun, akan dijawab.

Alasan kedua adalah, orang dibalik penerbit ini low profile. Jika punya sifat seperti ini, hampir dipastikan banyak orang suka. Bukankah begitu? padahal owner dari penerbit ini adalah eks penulis terbaik dari suatu penerbit mayor di Yogyakarta. Karya-karyanya sudah ratusan judul. Diantaranya ada yang best seller bahkan pernah 'dilirik' oleh negeri jiran, Malaysia.

Alasan ketiga, murah. Budget yang Anda keluarkan untuk mencetak buku itu terjangkau. Untuk alasan yang ini, silahkan Anda bandingkan dengan penerbit-penerbit yang lain terlebih dahulu, barangkali saya salah. Anda bisa melihat tabel harga cetak yang saya lampirkan ini. Untuk jasa cover juga terjangkau dan tentu saja menyesuaikan dengan kerumitannya.



Alasan keempat, pengalaman. Ya, pengalaman adalah guru yang berharga. Saya kira untuk owner penerbit ini sudah mengenyam banyak sekali pengalaman. Berbekal pengalaman menjadi penulis bertahun-tahun di penerbit mayor, tentu saja mengantongi berbagai macam ilmu seluk beluk penerbitan dan kepenulisan.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai percetakan, penerbitan, karya dan lain-lain, Anda bisa buka link blognya: https://www.portalnumed.my.id/p/anda-punya-naskah-untuk-dicetak-apapun.html.

Semoga tulisan ini membantu. Semoga Jember maju akan literasinya!

Jangan ragu berkarya!

Anda semua calon penulis!

Rabu, 20 Mei 2020

Kendala Kerja di Rumah (Work From Home Gara-Gara Covid-19)!

Sumpek. Itulah awal dari tulisan ini. Sumpek alias bosan pasti pernah menyergap siapa pun yang kerja di rumah dengan durasi yang cukup lama, apalagi tema Work From Home sedang tranding, yakni kerja yang dikerjakan di rumah. Ini semua gara-gara tamu besar kita Covid-19 atau Corona.

Sebenarnya, kerja di rumah itu sangat menyenangkan, apalagi kalau ditunjang dengan pendapatan yang besar, ditambah lagi dibarengi istri dan anak (non-jomblo), wah...tentu saja sangat menyenangkan dan terhibur. Namun, itulah ekspektasi indah. Kenyataan, kebahagiaan dengan keluarga, anak dan istri agak goyah, karena pendapatan jauh dari cukup. Seorang suami sebagai kapten keluarga, harus putar otak agar nafas kehidupannya lebih banyak diperoleh.

"Ad, kamu kerja apa di rumah?" tanya seseorang.
"Kerja nulis," jawabku.
Senyum orang itu lantas skeptis. "Coba cari yang hits, bisa jualan masker, handsanitazer, kue--kan entar lagi lebaran--atau baju lebaran bisa. Kalau kerja nulis, emang bisa ngasilin uang cepat?"

Dialog itu berlalu begitu saja, bahkan dialog itu sekarang Anda baca. Makasih ya atas waktunya untuk membaca blog ini.

Emang sih, orang yang mengajakku berdialog itu benar. Jika dituruti kerjaan sebagai penulis--sebagai penulis yang belum punya nama lagi--maka dalam satu hari saja pikiran terganggu. Kepikiran, nanti makan apa, minum apa, eh popoknya si dedek, kepengen sirup marjan, aduh udah akhir bulan, listrik, air  dan lain-lain.

Jadi perlu cari cara untuk mengatasi surfival kehidupan. Salah satu langkahku untuk mengatasinya adalah rangkap menjadi penulis dan sekaligus marketing online, dan sekali-kali iseng menjadi blogger (setelah sekian lama enggak nulis di blog).

Saat saya nulis di blog ini, sebenarnya ada pekerjaan yang belum selesai, yakni membuat buku. Temanya apa? Ada deh! yang jelas bisa memakan waktu yang lama dan panjang, dan tulisan jenis ini berbeda dengan yang biasanya aku tulis. Sebab setiap tulisan yang kutulis bisa berbeda-beda, apalagi ada yang naruh standar dari tulisan yang biasanya aku pakai. Jadi, mulai mempelajari dan hati-hati.

Selama kerja di rumah, bukannya gampang, tapi ada saja yang membuat pikiran ini agak panas. Setidaknya ini pengalamanku, karena barangkali apa yang sulit, belum tentu juga bagi orang lain. Kendala-kendala kerka di rumah diantaranya adalah.

  • Tabung gas abis

Padalah udah membaranya semangat ini ngerjain tugas, tahu-tahu dimatikan sama tabung gas. "mas gasnya abis, tolong belikan ya?" kalau ego dan enggak mau beliin, bisa-bisa enggak makan dan enggak ada gudapan di depan mata memandang.
  • Galon Abis
Sama seperti kendala pertama. Padahal masak air kan bisa, ya enggak? eh iya ya, gasnya kan abis. Haduh. Maka, ya enggak maka-maka aja,  langsung aja beli galon.
  • Dimintai Bantuan Sama Istri
Yang jomblo dan ingin menikah. Menikahlah. Jangan salah paham sama tulisanku ya. Ketika Work From Home, saya sering dimintai bantuan istri. Misal "mas bisa minta tolong ambilin daun pandan depan rumah?"
Lantas apa yang aku lakukan? ya berangkat lah. Langsung bantu. Sebab keperluan istri adalah keperluan kita juga. Ketika kita memberi service terbaik ke istri, maka rumah seakan seperti rumah, bukan pasar.
  • Ocehan Anak
Anak terus aja deketin saat kerja, ocehannya kenceng. (Alhamdulillah ada anak, harus bersyukur). Tapi akhirnya konsenterasi menjadi beralih ke anak. Khawatir pegang kabel laptop lah, khawatir kepeleset lah, khawatir terantuk lah. Akhirnya kerjaan tertunda dulu.
  • Dikira Main-Main di Depan Laptop
Padahal kerja. Serius. Tuts-nya berisik lagi. Memang sih kalau dilihat sepitas saja, semua orang yang sedang bersama laptop itu terkesan santai atau--istilah anehnya--santuy. Padahal, kalau Anda bisa berubah posisi dengan orang yang sudah lama duduk di depan laptop, mungkin Anda menggeliat, pengen berdiri, pengen gerak-gerak. Karena bok*ng atau pinggul ada batasnya ketika dia menahan badan bagian atasnya.
  • Boyok Protes

Mesin saja bila bekerja terus-terusan tanpa jeda lama-lama akan rusak. Apalagi tubuh manusia yang memang ada batasnya, jadi boyokku sakit. Kalau lama-lama duduk, berdiri sampai tak bisa tegak. Ada yang bilang kalau duduk terlalu lama itu enggak baik ya? sebab bisa membuat otak tidak bisa bekerja dengan maksimal. Pantaslah kalau begitu, kadang-kadang seorang penulis butuh editor juga, sebab sebagai penulis kerjaannya duduk saja, maka diperlukan editor untuk saling melengkapi, agar kalau ada kata yang salah atau pas bisa dibetulin.

  • Perhatian Harus Dibagi

Aku pernah bertekad lembur dalam beberapa hari ke depan. Ketika sudah bertekad, rupanya langkahku salah. Sebab, keluarga perlu hak juga untuk mendapatkan waktuku. Enggak bisa lah, waktu itu dimiliki oleh satu orang, apalagi ketika ia sudah berkeluarga. Tapi, jomblo jangan takut akan hal itu. Kamu bakal menjadi pria sejati kalau penuh tantangan.

  • Pelanggan Minta Perhatian Juga
"Haduh mas, saya sudah lama nunggu di Warung Cak Man!" protes pelanggan. Jadi, meski berkeluarga, jangan hanya keluarga aja yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah pelanggan. Perhatiaan itu yang penting ada di waktu dan kondisi yang memang pas. Bukan protes pada tengah malam.

Sudah. Cukup sekian tulisan ini. (ndak mari-mari engko pas kerjoan laine, hadeh)
Terima kasih.

Selasa, 19 Mei 2020

Naskah Tidak Diterima Penerbit Gara-Gara Ada Wabah Corona




Siang ini gerimis di Kota Jember. Ah....begitu syahdu. Beberapa bulan sudah aku di rumah?
Maksudku sudah beberapa gigihkah aku mempertahankan diri ini agar di rumah saja?
Tadinya aku merasa biasa saja di rumah. Tak terlalu berpikir yang berat. Karena pekerjaan freelance yang membuat diriku tetap bersarang di rumah, meski pun akhirnya aku nyari pekerjaan utama juga. Karena kerja freelance sebagai penulis tak serta merta menghasilkan uang secara langsung.

Sebelum warta corona merebak, aku sempat menerima job dari suatu penerbit. Tema yang aku tulis tidaklah begitu berat. Dan deadline pula dua bulan. Jadi, tak terlalu terburu lah dengan job penerbit tersebut. Aku juga masih bisa nyambi pekerjaan lain. Job menulis tersebut aku buat sampingan saja. Di sela-sela kerja, sedikit demi sedikit kutulis. Kususun kata-kata dengan teratur. Aku pikir deadline dua bulan masih bisa membuat diriku bernafas lega, atau setidaknya aku enggak ngos-ngosan ngerjainnya.

Di media sosial, di TV, bahkan di radio menjadi lautan berita corona. Di saat itu pulalah aku berhenti sementara dari pekerjaan utama, yakni penjualan suatu produk, dan menerapkan penjualan via delivery atau pemesanan lewat WhatsApp.

Ketika naskah itu selesai. Kukirim ke email penerbit. Ada perasaan ikatan deadline lepas. Sedikit bebas. Mulanya pihak penerbit merespon dengan singkat, "Baik, kami terima"

Lalu, dikemudian hari aku terima WhatsApp dari mereka, berikut isinya:

Selamat siang Mas Saad,
semoga senantiasa sehat sentosa serta selalu berada dalam lindungan Tuhan YME. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan informasi perihal kelanjutan kerjasama antara penerbit dan Mas Saad.
Terkait perkembangan penyebaran Covid-19 di Indonesia, saat ini kantor kami sedang mengalami krisis yang juga berimbas pada seluruh kegiatan operasional perusahaan. Oleh sebab itu, dengan berat hati kami harus melakukan pembatalan projek-projek penulisan naskah yang sedang dalam proses pengerjaan, maupun yang sudah teman-teman penulis selesaikan, termasuk untuk naskah Mas Saad yang berjudul "Bla...bla...bla....".
Untuk itu, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya, dan memohon pemakluman serta kebesaran hati dari teman-teman penulis sekalian untuk menerima keputusan ini. Semoga teman-teman penulis sekalian selalu diberikan kelancaran rezeki dan senantiasa berada dalam lindungan Tuhan YME.
Sekian dari kami, terima kasih atas pemakluman dan kerjasamanya.

Salam,
Redaksi Penerbit

Bukan main, perasaan lemas langsung menyergapku. Bagaimana tidak? sebab saya menggarap naskah itu dengan susah payah dan mengusahakan yang terbaik. Namun, endingnya seperti ini. Kecewa tentunya. Lalu aku pun membalasnya:

Selamat siang juga,
tentu saja ini kabar menyedihkan buat saya. Sebab yang saya tulis mengenai bla...bla...bla..., dan rupanya saya ngoyo dalam pengerjaannya, dan semakin bertambah ngoyonya apabila teks tersebut tidak memberikan hasil finansial.

Tapi, insyaa Allah saya akan berlapang dada dengan keputusan redaksi penerbit Karena dari penerbit pula saya bisa berkarya banyak.

Terima kasih.


Begitulah, aku membalasnya. Walaubagaimana pun mereka berjasa besar kepadaku. Sudah menjadi jembatan diriku menjadi penulis.

Corona memang benar-benar baik bukan? Membuat seseorang semakin lama di rumah. Akrab dengan rumah dengan seisinya. Tapi sayangnya enggak bisa akrab dengan keadaan, apalagi uang sekarat, dompet berangin.

Jadi, apakah ada penerbit yang bersedia menerima naskahku?


Minggu, 10 November 2019

Berdirinya Just Typing Publisher, Penerbit Pendatang.

Kamis 7 November 2019,

Jam menunjuk ke angka 3.30 PM. Sore hari ketika istri sedang memandikan tole. Saya siap-siap untuk pergi ke seseorang yang sama dengan saya mengenai kecintaannya kepada literasi. Tapi kecintaan saya terhadap literasi, dalam hal ini termasuk hobi, maka hobi saya ini agak luntur karena didesak oleh kebutuhan hidup. Well, saya sekarang punya istri dan anak, tentunya naif sekali ketika disamakan dengan masa lajang yang masih banyak waktu untuk menulis, dan lajang itu lapar sendiri, tanpa harus memikirkan perut yang lain tentunya. Jika menulis adalah hobi saya, maka kebutuhan hidup menutupi hobi hampir seluruhnya.

Kepergian saya untuk menemui seseorang bernama Pak Iman Suligi, adalah keingintahuan saya apakah menulis itu perlu ditinggal atau berjalan seiringan tanpa harus pusing memikirkan pendapatan. Menulis menurut saya adalah bersumber dari pikiran. Jika pikiran tenang maka tenang pula tangan menari di atas tuts. Namun jika pikiran terisi beras, sayuran, camilan, mainan anak, popok dan lain-lain, maka mau enggak mau pikiran butek.

Pak Iman Suligi--yang dapat informasi dari teman lamanya bernama Pak Iswandi--beliau tinggal di Kreongan.

"Pokoknya terus ke arah barat dari rumah sakit paru-paru," jelas Pak Iswandi, pas saya temui di tempat kerja. "Nah, nanti pas di tikungan jalan ada gang yang bertuliskan kampung baca. Masuk aja, tanya aja namanya Pak Iman Suligi, insyaallah orang-orang sana pada tahu."

Flash back, ceritanya saya bisa kenal dengan Pak Iman Suligi,  ketika saya ngobrol-ngobrol ringan mengenai masa lalunya Pak Iswandi yang dulu menurut keterangan beliau, pernah kerja sebagai penulis bersama seorang sastrawan besar yang kini sudah meninggal, namanya Pak Ayub (kalau enggak salah).

"Saya juga kenal dengan Pak Iman Suligi di Kreongan, beliau memiliki perpustakaan sama halnya dengan Pak Ayub. Mungkin mas Saad bisa menemuinya berbagi ilmu literasi." Jelas Pak Iswandi. Kala itu sore hari, Rabu, tanggal 6 November.

Saya yang mendengar penjelasan seperti itu bertanya banyak mengenai Pak Iman Suligi, karena tertarik akhirnya saya memutuskan minta kontak beliau dari Pak Iswandi.

Pas malam Kamis saya telepon Pak Iman Suligi, membuka pembicaraan bahwa saya dapat kontak beliau dari temannya.
"Pak Iswandi? Ohh enggeh mas. Monggo kalau pengen main-main ke tempat saya," jawab yang di seberang telepon. Nada bicaranya ramah.

Nah, kamis sore saya hendak pergi ke tempat Pak Iman Suligi. Setelah pamitan dengan istri langsung cusss pergi ke sana.

Setelah sampai di rumah sakit paru-paru, saya berhenti sejenak untuk membuka Google maps, di searching saya tulis "Kampung Baca", namun Google maps tidak bisa menemukan yang saya sebutkan itu. Nah, kejadian ini sebenarnya sama seperti dulu ketika ada seorang pegiat literasi yang menganjurkan saya untuk pergi ke Kampung Baca, tapi bedanya saya mengeceknya pas ada di rumah. Google maps tidak bisa menemukan lokasi tersebut.

Saat berhenti itu, saya berpikir. Saya buka Google dan saya ketik nama Iman Suligi. Nah, di sana saya melihat profil dari beliau. Mata saya langsung tertuju ke tulisan dengan ejaan "Kampoeng Batja", Oalah ejaannya rupanya pakai ejaan lama. Pantesan Google maps tidak bisa menemukan tempat ini. Lalu saya ulangi di kolom pencarian Google maps dengan kata "Kampoeng Batja", nah... Ketemu. Jaraknya kira-kira 400 m dari saya berhenti di tepi jalan.

Setelah saya masuk gang saya bertanya ke seorang ibu-ibu mengenai kediaman Pak Iman.
"Oh, masnya masuk di gang rumah itu," ibu-ibu menunjuk ke sebuah rumah. "yang depan rumah ada galonnya, parkir motornya depan rumah itu nggak papa kok,"


Setelah itu saya menuju ke sebuah gang kira-kira lebarnya 1 meteran.

Rasanya seperti penemuan, bagaimana tidak, dari gang kecil yang seakan saya salah jalan dan rupa-rupanya, setelah itu saya dapati sebuah tempat yang nyaman, luas, beraura seni. Salah tidak salah.


Saat itu Pak Iman nampak sibuk dengan angklung di tangannya. Lantas beliau tersenyum ke saya.
Saya langsung memperkenalkan diri.
"saya yang kemarin telepon njenengan, Pak"
"Oh, mas Sa'ad?"
Kami pun bersalaman. Pak Iman menyilahkan saya untuk duduk.
"Sebentar ya, angklung ini hilang nada do-nya," kata beliau.
Setelah beberapa menit akhirnya beliau bisa duduk bersama saya dan memulai obrolan ringan.
Beliau menjelaskan, Kampoeng Batja berdiri dimulai dari langkah kecilnya di tahun 1978. Di tahun tersebut beliau  menyadari kalau buku koleksi pribadinya banyak, lantas beliau terpikir membuka taman baca kecil-kecilan di teras rumahnya.

Kutanya awal langkah kecil, dan sekarang bisa besar, "pasti modalnya besar ya?" Tanya saya.

Panjang lebar, obrolan kami mengenai literasi dengan beliau.

Obrolan dengan Pak Iman saya ringkas pada titik penting. "Saya ingin mengikuti jejak Pak Iman sebab dalam dunia kepenulisan, semangat saya naik turun, saya ingin punya tempat yang setidaknya bisa menampung aspirasi literasi di Jember ini. Saya punya ide untuk membangunnya di rumah saya. Jadi langkah apa untuk mempromosikan ini pak?" Begitu terang saya.

"Buat aja banner di depan rumah mas."

Dari situ muncullah ide untuk membuat nama perusahaan (ya perusahaan ecek-ecek). Nama perusahaan itu awalnya just sitting. Nama ini merujuk karena banyak teman-teman bertanya bagaimana untuk menjadi seorang penulis, saya jawab "ya, harus tahan duduk, cuma duduk (just sitting)." Baik, selain duduk tentu harus Baca dong!
Karena banyak  orang-orang kreatif, dan ada yang cenderung suka memplesetkan, akhirnya Just Sitting saya ganti dengan Just Typing. Saya khawatir kalau dikasih nama just sitting akan di kepelesetkan menjadi sinting. Kan parah tuh.

Gambar di atas ini salah satu desain, usaha saya dalam mencintai literasi tanpa harus meninggalkannya karena kebutuhan hidup.

Selasa, 29 Oktober 2019

Nadim Makarim jadi menteri, sementara diriku tetap disengat mentari.


Selasa.


Di jam 04.54 AM, di penghujung Oktober 2019  terang mentari lebih awal muncul di ufuk timur. Setelah memanasi mesin motor, aku berangkat untuk kerja. Rajin kan?

Meskipun menurut pribadi, kerjaku ini kuanggap tidak sebagai kerja melainkan berpetualangan,  kalau kata orang, profesi kerja  yang kujalani ini disebut kerja ngukur jalan (meskipun aku gak pernah ngitung juga).

Tahu Gojek kan? Ya, aku kerja sebagai driver Gojek. Pekerjaan keren ini sudah menjadi rutinitasku dibalik jaket hijau,  dan disela-sela itu pula aku sempatkan sebagai penulis freelance. Seperti yang kamu baca di blog ini, tulisan ini kutulis ketika duduk sambil nunggu orderan.

Awal mulai bekerja sebagai driver gojek November 2017, setelah Ibuku tutup usia di tanggal 12 November 2017.

Sengaja perut sepagi itu hanya aku isi dengan teh manis, dan lebih memutuskan segera ngojek. Berharap penumpang tidak dipatok ayam yang berkokok lebih awal dariku.

Aku mangkal, nunggu penumpang dinaungan masjid wilayah perumahan Tegal Besar, Jember. Di dalam masjid nampak dua orang menunduk, lirih dari luar terdengar mereka melantunkan ayat suci.

Di masjid itu, aplikasi  gojek ku stel autobid. Yap, dengan harapan penumpang bisa nyantol langsung tanpa harus memilih orderan. Menit per-menit kulalui dengan duduk dan menunggu. Sambil menulis di blog ini tentunya. Mungkin kamu bertanya-tanya, "ngetik di layar handphone dengan kata yang tidak sedikit apakah jempol nggak keriting?"

Mungkin ini bisa jadi tips dariku untuk kamu yang ingin menjadi penulis di sela-sela kesibukan utama. Buka aja notes (bisa langsung ke blogger, kalau punya blog) tap area tempat kamu biasanya menulis teks. Di bagian keyboard cari simbol mikrofon, kalau sudah ketemu tekan tap lama simbol mikrofon. Nanti ketika  melihat "Ucapkan sekarang", ucapkan hal yang ingin kamu tulis. Gampang kan?

Sampai tulisan sebanyak ini akhirnya aku mulai merasakan gelisah karena masih belum ada penumpang yang nyantol. Aku enggak terima melewati menit per menit cuma dengan duduk, bahkan sampai mau satu jam. Jiwaku berontak, apalagi melihat dunia berganti terang. Geliat di perumahan sudah nampak. Jam menunjukkan 05. 51. Waw, hampir satu jam!

Aku pun whatsApp teman sepergojekanku. Tanya, kemarin orderan dapat berapa? 

Sebentar saja dia jawab, “dapat 3 bro”

Ya, sebab aku kemarin enggak Ngojek, karena aku kemarin memulai ngojek siang-siang begitu. Jadi kayaknya wajar kalau kemarin terlalu siang untuk ngojek dan pelanggan udah berangkat dengan driver lainnya. Dan ini diperkuat oleh kata teman, katanya ngojek siang-siang itu sama saja membuang customer. Nah, karena alasan itu yang mendasari aku ngojek di awal pagi di hari ini.

“Seharian itu bro?” tanyaku, lanjut whatsApp.

“Iya...” jawab diseberang.

Waw!

Dengar kabar semenjak Gojek menaikkan tarif disaat itu pula berangsur-angsur customer dari Gojek mulai berkurang.

Seorang bapak-bapak, keluar dari masjid,  dan bertanya kediriku, dari mana asalku. Tidak lama kemudian ada dua orang, sepertinya petugas kebersihan. Seorang menyapu di latar masjid, dan yang lain tak dapat kupandang (maksudnya dibalik tembok). Di latar ada motorku parkir dengan gagah. Bersihinnya lama sekali. Sampai-sampai aku baru paham kalau tukang bersih-bersih itu ingin menyapu motorku sekalian (andai saja bisa), sebab dibawah motor ada sampah yang tertahan. Dan kupikir sampah masih bisa terjangkau di bawah motor. Jadi sampah seolah seperti bayangan dari motor. Ya, kadang kita harus paham bahasa isyarat. Dan kuartikan kalau aku harus enyah dari sekitaran masjid.

Tulisan ini pun ku save dulu di blogger.

Kira-kira jam 6 lebih, aku melanjutkan perjalanan. Muter-muter. Konon kata teman sepergojekanku, muter-muter itu tujuannya agar menambah riwayat perjalanan dan itu pengaruh pada perolehan customer. Maka aku pun manut. Muter-muter.

Tahu enggak, sampai jam 08.00 pagi,  akhirnya aku dapat menenteng bubur sumsum (dapat dari beli), dan setelah itu pulang dengan dompet yang masih kerempeng.  Aku harus sabar, penumpangku dipatok ayam mungkin. Apa harus lebih pagi lagi ya?

Inilah realita penulis freelance, yang nyambi Gojek. Kadang orang berpikir menjadi penulis itu sesuatu yang hebat. Misalnya ada orang menilai bahwa diriku sukses (sukses dari mananya?), ada juga yang bilang kalau diriku terkenal (Ya, terkenal, bener itu, tapi terkenal aja enggak cukup buat bahagia. Orang terkenal itu perlu uang juga), ada juga yang bilang kalau diriku pintar (pintar? Aaamiiin, tapi orang pintar juga perlu uang. Uang!!).

Aku kini punya istri dan anak. Aku pulang membawa motor, tapi sekali lagi, tidak bisa membuat dompet buncit. 

Ohya aku belikan bubur sumsum seharga rp3.000, itupun untuk istri aja.

Nadim Makarim sekarang jadi menteri, sedang diriku tetap disengat mentari.
Ya, inilah nasib driver Gojek, tidak sama dengan Makarim, kalau aku hanya bisa makan Es Krim. Tapi apa daya terburu cair dulu uangnya (cair dalam arti lenyap uangnya, dibelikan bensin demi riwayat perjalanan yang katanya mempengaruhi pendapatan orderan). Tapi buktinya, hari ini aku enggak dapat orderan.

Tapi, percayalah! Rezeki enggak kemana. (tapi meskipun rezeki enggak kemana, kita harus ke mana-mana mencari rezeki). Meskipun aku sudah kemana-mana memutari beberapa ruas jalan namun, Alhamdulillah, bersyukur masih dapat angin.

Terus kerja apa dan usaha apa ya?
Menulis disela-sela nganterin penumpang terbuka lebar, tapi ketika penumpang enggak ada, maka bukan sela-sela lagi, namun pintu menulis terbuka lebar. Kesempatan!  Tapi tunggu dulu, Job menulis freelance juga enggak bisa diharapkan.

Namun, aku akan terus terapkan kepada diriku, setiap hari harus menulis, meskipun sesibuk apa pun.

Dan uang, kumohon engkau segera kembali kepadaku dengan banyak ya!

Selamat buat Pak Makarim atas terpilihnya menjadi menteri. Semoga bapak membaca blogger saya. Kalau sudah membaca tolong solusinya. Mungkin saya bisa kerja sama Anda, saya bisa ngetik dengan cepat, jari-jari saya suka menari di atas tuts. Hehe.

Rabu, 23 Oktober 2019

Apa gunanya menulis, kalau karya tidak diapresiasi?



Sudah lama saya nggak menulis di blog ini. Kali ini saya datang kembali di blog ini karena sebuah pertanyaan sederhana yang terlontar pada seseorang yang ingin menulis dan menciptakan karya tulis.

 dia bertanya dan sekaligus menyampaikan rasa kurang optimis. Seperti pesan WhatsApp yang saya terima ini:

"Sudah hampir menyerah saya.. apa gunanya menulis terus kalo karyanya tidak diapresiasi kan?" 

 Kalimat di atas ini, tanpa mengurangi dan menambahi kata.

Baiklah sebelum saya jawab pertanyaan tersebut, saya ingin mengatakan kepada siapapun Anda utamanya yang membaca blog saya ini, kalau Anda bukan seorang penulis , maka Anda haruslah tetap menulis. Biasakanlah tangan Anda tetap menulis. Maksa banget ya?

Maaf, sebab apa yang ditulis Anda adalah langkah awal yang akan mewujudkan apa yang ada di kepala Anda.

Meskipun mungkin menurut Anda tulisan Anda kedepannya nggak ada yang mengapresiasi.

Lah, terus percuma dong?

Tahukah Anda, Muhammad Ali, petinju kelas berat yang paling terkenal selalu menulis dan hasil tulisannya yang berupa puisi itu tujuannya mengejek calon lawannya sebelum pertandingan. Dan hasil tulisannya akhirnya dibukukan. Padahal sudah jelas dia petinju bukan penulis.

Pasti pernah dengar juga Albert Einstein, kan?
Anda pasti tahu dia bukanlah penulis, layaknya Muhammad Ali. Tetapi, tahukah Anda sepanjang hidupnya dia menulis kurang lebih dua ribu makalah. Banyak bukan? Tujuan dirinya menulis adalah untuk menuangkan segala kemungkinan yang kemudian melahirkan teori-teori besarnya. Dari tulisan-tulisan itulah ada jejak keilmuan Albert Einstein.

Pertanyaan selanjutnya adalah seperti ini:
"Bagaimana kalo tema yg dieksplorasi sering yg terlalu asing? misalnya saya suka nulis tentang astronot ato orang yg hidup di abad 19.
Bagaimana cara menemukan pembaca yg berminat?"

Jawabannya, jangan mencari pembaca yang minat. Yang penting adalah Anda ada minat untuk menulis. Jika Anda terlalu memikirkan peminat maka Anda akan tetap tidak punya karya. Jika Anda mencari banyak yang minat berarti itu pasaran. Yang pasaran itu biasanya yang paling murah. Sebab namanya juga pasaran (umum). Jadilah pembaru, yang tidak ada di pasaran namun mampu menciptakan pasar.

Anda haruslah punya komunitas yang isinya penulis semua. Dan Anda jangan hanya berinteraksi dengan penulis di dunia maya, seperti Facebook, grup WhatsApp, instagram dan lain-lain. Tapi, Anda harus menemukan penulis di dunia nyata juga. Cobalah bagikan karya Anda yang masih mentah, biarkan mereka membaca karya Anda dan menilai karya Anda. Keseringan komunitas itu bisa membantu jalan yang harus ditempuh Anda, dalam hal ini menerbitkan buku.

Sekian dari saran saya, semoga Anda bisa menjadi seorang penulis besar di Indonesia ini.

Salam literasi.
Saad Pamungkas.