Pages

Selasa, 23 April 2019

Mas Giant Pucanganak

Sudah lama aku enggak menulis. Kali ini menulis di Telkom, kota Trenggalek. Bermodalkan wifi corner.

Aku akan sedikit bercerita mengenai perkenalan diriku dengan seorang ketua Komunitas di Kelurahan Pucanganak. Yakni mas Giant (begitu yang tertulis di nama WhatsApp.nya), yang sebenarnya namanya Mas Gianto.

_____________________________________________________________


Kala itu ada seorang laki-laki mengendarai truk bermuatan pasir. Tidak lama ini aku mengenalnya. Baru sabtu tanggal 20 April 2019. Awal dari perkenalan itu berawal dari Mbak Sringatin yang memesan pasir untuk keperluan membangun pagar di bagian timur dan selatan dari rumahnya. Aku waktu itu baru selesai cuci baju mengangkat ember hitam untuk menjemurnya di teras. Waktu itu cuaca tidak konsisten dengan pendiriannya. Kadang panas kadang pula mendung.

Bunyi truk terdengar. Waktu itu mas Harry memberi aba-aba untuk memarkirkan truknya secara benar. Mas Harry, adalah laki-laki yang membuatku terpesona. Terpesona akan kekuatan optimisnya. Ia tidak punya tangan semenjak kecelakaan ketika dia dulu bekerja di Kalimantan. Dia tersengat listrik dengan tegangan tinggi. Hingga membuat tangannya lumpuh. Dan akhirnya diamputansi. Tapi dia bisa lebih semangat dari yang punya tangan. Contohnya seperti aku. Kadang aku suka mengeluh dengan apa yang lebih lengkap dari pada mas Harry. Semoga kesabaran mas Harry mendatangkan keberkahan di dunia juga di akherat. aamiin.

Setelah truk berjenis Dum Truk tersebut memuntahkan pasirnya. Tidak lama kemudian seorang pria berumuran kitaran 35 atau 40 tahun turun dari truk. Dan duduk santai melepas penat bersama mas Harry. Kala itu pembuka pembicaraan dengan tema Pemilu. Keduanya--mas Harry dan mas Gianto--masing-masing sangat paham akan politik. Setidaknya mereka punya pembahasan masing-masing mengenai peristiwa politik atau pesta rakyat yang jatuh di tanggal 17 April 2019 silam.

Sementara mereka sangat luwes dengan pembicaraan mereka. Aku hanya bisa sebagai pendengar saja. Sebab aku tidak suka politik. Namun kadang-kadang aku peduli politik juga. Yang aku muak dengan politik itu ketika 'ahli politik' bersilat lidah. Awalnya sih seru dengerinnya. Saling lempar pendapat dari kubu ini dan itu. Masing-masing mempertahankan argumentasinya. Tapi lama-lama aku merasa enek.  Mereka tidak kurang seperti anak kecil, namun anak kecil yang bisa 'ngapusi'.

Mas Gianto juga tanya mengenai diriku, asli dari mana. Dan hanya itu saja pertanyaan dari mas Gianto. Tidak ada lagi.

Namun perbincangan kami berlanjut ketika Mas Harry bertanya, "Sekarang ada job apa dari penerbit?"

Aku menjawab, "Temanya Seni Meraih Peluang,"
Mas Harry lantas mengangguk-angguk. Dan menoleh ke Mas Gianto, dan menerangkan bahwa aku adalah seorang penulis. Dan mas Gianto bertanya ke diriku langsung. "Oh, jadi mas ini penulis ya?"tanya mas Gianto dengan sedikit antusias.
Aku mengangguk dan membenarkan. Lalu dari situlah perbincangan panjang antara aku dan mas Gianto berlanjut dengan pembicaraan yang panjang seputar pekerjaan yang aku geluti ini.

3 gelas kopi datang, emak membawakan wedang cuma-cuma itu untuk kami. Kami duduk bertiga di depan teras mushala. Sambil melanjutkan perbincangan. Kopi yang kami minum waktu itu kopi hasil dari produksi sendiri. Hasil dari demplok sendiri. Emak selalunya menyangrai terlebih dahulu di dalam sebuah wadah penggorengan yang terbuat dari tanah, berbentuk kendi. Dari sana proses penyangraian terjadi.  Rasanya asyik, siapa pun yang meminumnya, pasti akan mengunyah kopinya juga. Jadi selain minum juga makan kopi. (hehe)

Mas Harry waktu itu pamitan, dan berkata kalau dirinya sakit perut. Jadi kami ngobrol berdua saja dengan mas Gianto.
"Saya tinggal tidak jauh dari tower mas, di Joho." terang mas Gianto. "Ohya mas, kalau mas Saad tertarik dengan bergabung di komunitas penulis, saya punya kenalan bernama Pak Prio. Beliau juga seorang penulis. Tapi menulis dibuat sambilan saja, kesibukan utamanya sebagai kepala sekolah,"

"Menarik juga," kataku. "Saya selama di sini tidak pernah menemukan komunitas penulis mas. Saya mencarinya di internet. Biasanya kalau komunitas menulis, mestinya mereka akan meninggalkan jejak literasi di dalam internet." Ya, aku baru beberapa tahun saja berada di kota Alen-Alen ini. Toh, kali ini yang paling lama, 1 bulan lebih. Biasanya aku di rumah mertua paling lama 2 minggu.

"Kalau begitu akan saya masukkan mas ke dalam Komunitas Pucanganak Peduli saja," terang mas Gianto. Mas Gianto ini rupanya adalah ketua atau perintis dari Komunitas Pucanganak Peduli. Komunitas ini terdiri dari orang-orang kelurahan Pucanganak, bergerak di bidang sosial.

"Lalu apa yang ingin mas Saad tulis mengenai Trenggalek ini?" tanya mas Gianto.

Sejenak aku berpikir mengenai Trenggalek. "Em. Saya heran saja, kenapa Trenggalek ini tidak dijuluki dengan Kota 1001 Bukit? padahal perbukitan di sini begitu banyak."

"Menarik sekali. Sepertinya tema itu belum terangkat sama sekali. Menarik mas!" seru mas Gianto. "Lalu apa yang ada di benak mas Saad?"

Awana Skyway (Sumber : http://www.kuala-lumpur.ws)


"Harusnya melihat potensi Trenggalek dari situ. Misal dimanfaatkan dengan sarana flying fox atau awana skyway. Dengan adanya wahana seperti itu bisa menarik pelancong datang ke Trenggalek."

Mas Gianto tertawa. "Menarik juga mas. Tapi pemerintah daerah mesti menghabiskan biaya besar untuk hal itu."


Flying Fox (sumber : sky-adventure.com)
Perbincangan kami sampai-sampai hampir pukul 9 pagi dari perbincangan kami dimulai pukul 7.30.

Ada begitu banyak yang menarik untuk dibicarakan mengenai Trenggalek yang belum kami perbincangkan waktu itu.

Ohya, saya ini hanya penulis pemula mas Gianto!
Ilmu saya juga tidak banyak.
Tips dari saya kalau ingin menulis adalah dengan terus rajin membaca. Bahkan saya secara teori masih belum seberapa hafal mengenai kepenulisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar